Nama : R.Nurina Ramadhani
NPM : 1B114198
Kelas : 4KA51
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ASET BUDAYA BANGSA
Dari sisi etnis dan budaya
daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa
Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur
memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber
nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan
diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis
itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka
menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga
terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura
dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan
keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh,
Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang
khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai
kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum
adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat
relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung
kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat
kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan
intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka
terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan
sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar
kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan
memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah
tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra
budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting
bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu,
keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari
warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi
dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi,
warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi
tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya
dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang
masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan,
diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam
kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan
lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak
sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya
masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara
menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali
lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan
kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut
mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai
budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan
meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin
kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal.
Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini
disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan
pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan
dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu
dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para
elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik
seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa
pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak
lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada
gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih
bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit
mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka
pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat
cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat
menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap
niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali
kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur
budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan
untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana masyarakat harus membuka
kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan
dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya
“Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang
tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya
terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi,
kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan
makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada
gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam
seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah.
Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang
perlu dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa
untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya,
kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan
antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya
lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan
lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan
berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada
kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan
elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru.
Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan
mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi
yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang
baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan
yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan
berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya,
tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis.
Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang
menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah
perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan.
Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman
dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada
pihak yang dikorbankan.
Oleh karena itu, dalam makalah
ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan lokal piil pesenggiri dan
implementasinya yang berkaitan dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan
masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan
pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.
Sumber :
http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/17/kearifan-lokal-sebagai-aset-budaya-bangsa-dan-implementasinya-dalam-kehidupan-masyarakat/